RIZKIE ABANGNYA ERIEL PUTRA ASLI LUBUKLINGGAU

Wednesday, June 1, 2016

Analisis BPJS




Analisis BPJS

Indonesia sebagai salah satu negara yang merujuk pada Welfare State sudah seharusnya memberikan suatu kebijakan yang pro-rakyat, yaitu dengan perlindungan terhadap masyarakat disegala bidang. Program pemerintah dalam peningkatan kesejahtraan masyarakat adalah dengan penerapan peraturan social security.
Meskipun Indonesia merupakan negara yang menganut Welfare, tetapi masih sulit dalam proses pengambilan keputusan dalam penerapan jaminan sosial, yaitu di Indonesia sendiri dalam proses pengesahan jaminan sosial mengalami tarik ulur antara pihak perusahaan, pemerintah dan juga buruh. Ruang lingkup Jaminan Sosial, yaitu: Jaminan kecelakaan kerja, Jaminan kematian, Jaminan hari tua, Jaminan pemeliharaan kesehatan
Isu BPJS sebenarnya tidaklah hal baru, karena sebelumya sudah ada SJSN pada tahun 2004, yaitu tertuang dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2004. Sehingga SJSN merupakan sepirit dari terbentuknya BPJS pada akhir tahun 2011 ini. Bisa dibayangkan dalam kurun waktu 7 tahun yang tidak sebentar, betapa rumitnya perdebatan untuk mengangkat isu jaminan sosial kembali.
Implementasi spirit Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) belum bisa terlaksana secara maksimal karena RUU Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) masih jadi perdebatan antara Pemerintah dengan DPR.

Perbedaan pendapat antara DPR dan pemerintah mengesankan DPR dan Pemerintah tidak berada dalam satu kepentingan besar yang sama dalam membahas kebutuhan dasar rakyat. Logikanya, kalau semua berpijak demi kepentingan rakyat, rasanya tidak harus bertele-tele dalam menuntaskan RUU BPJS ini.
            Pada awalnya, pembahasan RUU BPJS menyepakati untuk membentuk dua BPJS baru dan tetap menjaga empat BPJS yang ada (PT Taspen, PT Askes, PT Asabri dan PT Jamsostek, red). Skemanya, dari empat BPJS yang ada, tiga di antaranya yakni  PT Taspen, PT Askes dan PT Asabri akan menjadi BPJS I yang  akan memberi jaminan kesehatan dan jaminan pensiun bagi PNS, TNI dan Polri dengan sumber iuran dan pekerja dan pemerintah sebagai pemberi kerja. Sementara PT Jamsostek menjadi BPJS II yang akan melindungi pekerja formal dan informal dari risiko kerja, seperti kecelakaan, kematian dan layanan kesehatan serta jaminan hari tua.

Namun pada perkembangan selanjutnya, muncul wacana untuk melebur empat BPJS yang ada menjadi satu BPJS untuk melayani seluruh rakyat Indonesia. Wacana inilah yang kemudian menyulut polemik tentang perlu tidaknya dilakukan peleburan keempat BPJS tersebut.
Penolakan terhadap peleburan BPJS dilatari oleh perbedaan program dan karakteristik dari 4 BPJS tersebut. Karakteristik yang berbeda tersebut, tidak mudah disatukan karena masih ada risiko lain, yakni resistensi dari kalangan pekerja dan pengusaha atas penyatuan tersebut. Pekerja dan pengusaha pasti ingin dana mereka tetap aman hingga mereka berhenti bekerja nanti (pensiun), bukan ditalangi dari sumber yang lain.
Selama ini pekerja dan pengusaha mengalokasikan dana secara mandiri, tanpa bantuan pemerintah. Karena itu mereka juga menuntut manfaat yang lebih baik, minimal lebih besar dari bunga deposito, dari pengembangan dana mereka yang dikelola PT Jamsostek.  Akibat dari kekhawatiran tersebut, di beberapa daerah muncul aksi demonstrasi penolakan dari pekerja terhadap wacana peleburan tersebut.








Alternatif lain yang sesungguhnya bisa diambil adalah dengan tetap mempertahankan keempat BPJS, tetapi kepesertaannya diperluas dan jenis programnya ditambah. Misalkan saja, BPJS Askes yang menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan seumur hidup untuk seluruh rakyat Indonesia (termasuk pekerja/buruh). Selanjtnya, BPJS Jamsostek yang sekarang ini pesertanya hanya pekerja formal dan jenis programnya hanya empat program yaitu Jaminan Kematian, Kecelakaan Kerja, Hari Tua, dan Kesehatan.
Maka, dengan RUU BPJS ini diubah bahwa peserta BPJS Jamsostek  adalah pekerja formal, pekerja informal, dan TKI dengan jenis programnya menjadi lima program, yaitu Jaminan Kematian, Kecelakaan Kerja, Hari Tua, Pensiun, dan Kesehatan (dimana khusus Jaminan Kesehatan penyelenggaraanya dialihkan ke BPJS Askes). Atau, misalnya lagi, selama ini PNS/TNI-Polri tidak mendapat Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian maka dengan RUU BPJS ini PNS/TNI-Polri mendapatkan Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.
Disisi lain PT Jamsostek menyatakan siap melaksanakan amanat UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) termasuk migrasi (memindahkan) program Jaminan Pelayanan Kesehatan ke BPJS Kesehatan (PT Askes).

Sebelumnya, Sidang Paripurna DPR mengesahkan UU BPJS yang mengatur BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara Jaminan Kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Program itu akan dilaksanakan pada 2014.
Konsekwensi dari pembentukan BPJS Kesehatan itu maka peserta dan program JPK Jamsostek dimigrasikan (dipindahkan) ke BPJS tersebut.
Adanya amanat UU BPJS yang meskipun baru akan dilaksanakan pada tahun 2014 telah mampu sedikit memberikan angin segar bagi masyarakat indonesia, khususnya bagi ketenagakerjaan di indonesia. Hal ini dikarenakan masyarakat indonesia lebih bisa terjamin masalah sosialnya.
Selanjutnya, amanat BPJS ini diharapkan bukan hanya sekedar baik dalam hal teknisnya saja, melainan juga pada penerapannya dilapangan. Seperti diketahui bahwa permasalahan yang dihadapi di Indonesia yang paling menonjol adalah dalam setiap  penerapan kebijakannya tidak dapat berjalan dengan baik, bahkan bisa saja kebijakan tersebut justru dimanfaatkan oleh oknum untuk memperoleh keuntngan pribadi. Serta, yang terjadi saat ini bagi masyarakat yang mendapat ASKES tidaklah mendapat pelayanan yang selayaknya, seperti mereka yang membayar secara tunai.

Akan tetapi, setidaknya kebijakan tentang penerapan UU BPJS tersebut secara umum merupakan sebuah prestasi tersendiri bagi bangsa Indonesia terhadap upaya peningkatan mutu kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya UU BPJS ini maka masyarakat menjadi terjamin dalam kehidupan sosialnya.        

No comments:

Post a Comment