Analisis BPJS
Indonesia sebagai salah satu negara yang merujuk pada Welfare State sudah
seharusnya memberikan suatu kebijakan yang pro-rakyat, yaitu dengan
perlindungan terhadap masyarakat disegala bidang. Program pemerintah dalam
peningkatan kesejahtraan masyarakat adalah dengan penerapan peraturan social
security.
Meskipun Indonesia merupakan negara yang menganut Welfare, tetapi
masih sulit dalam proses pengambilan keputusan dalam penerapan jaminan sosial,
yaitu di Indonesia sendiri dalam proses pengesahan jaminan sosial mengalami
tarik ulur antara pihak perusahaan, pemerintah dan juga buruh. Ruang lingkup
Jaminan Sosial, yaitu: Jaminan kecelakaan kerja, Jaminan kematian, Jaminan hari
tua, Jaminan pemeliharaan kesehatan
Isu BPJS sebenarnya tidaklah hal baru, karena
sebelumya sudah ada SJSN pada tahun 2004, yaitu tertuang dalam Undang-undang
Nomor 40 tahun 2004. Sehingga SJSN merupakan sepirit dari terbentuknya BPJS
pada akhir tahun 2011 ini. Bisa dibayangkan dalam kurun waktu 7 tahun yang
tidak sebentar, betapa rumitnya perdebatan untuk mengangkat isu jaminan sosial
kembali.
Implementasi spirit Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) belum bisa terlaksana secara maksimal karena RUU
Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) masih jadi perdebatan antara Pemerintah
dengan DPR.
Perbedaan pendapat antara DPR dan pemerintah mengesankan DPR dan Pemerintah
tidak berada dalam satu kepentingan besar yang sama dalam membahas kebutuhan
dasar rakyat. Logikanya, kalau semua berpijak demi kepentingan rakyat, rasanya
tidak harus bertele-tele dalam menuntaskan RUU BPJS ini.
Pada awalnya, pembahasan RUU BPJS menyepakati untuk membentuk dua BPJS baru dan
tetap menjaga empat BPJS yang ada (PT Taspen, PT Askes, PT Asabri dan PT
Jamsostek, red). Skemanya, dari empat BPJS yang ada, tiga di antaranya
yakni PT Taspen, PT Askes dan PT Asabri akan menjadi BPJS I yang
akan memberi jaminan kesehatan dan jaminan pensiun bagi PNS, TNI dan Polri
dengan sumber iuran dan pekerja dan pemerintah sebagai pemberi kerja. Sementara
PT Jamsostek menjadi BPJS II yang akan melindungi pekerja formal dan informal
dari risiko kerja, seperti kecelakaan, kematian dan layanan kesehatan serta
jaminan hari tua.
Namun pada perkembangan selanjutnya, muncul wacana
untuk melebur empat BPJS yang ada menjadi satu BPJS untuk melayani seluruh
rakyat Indonesia. Wacana inilah yang kemudian menyulut polemik tentang perlu
tidaknya dilakukan peleburan keempat BPJS tersebut.
Penolakan terhadap peleburan
BPJS dilatari oleh perbedaan program dan karakteristik dari 4 BPJS tersebut.
Karakteristik yang berbeda tersebut, tidak mudah disatukan karena masih ada
risiko lain, yakni resistensi dari kalangan pekerja dan pengusaha atas
penyatuan tersebut. Pekerja dan pengusaha pasti ingin dana mereka tetap aman
hingga mereka berhenti bekerja nanti (pensiun), bukan ditalangi dari sumber
yang lain.
Selama ini pekerja dan
pengusaha mengalokasikan dana secara mandiri, tanpa bantuan pemerintah. Karena
itu mereka juga menuntut manfaat yang lebih baik, minimal lebih besar dari
bunga deposito, dari pengembangan dana mereka yang dikelola PT Jamsostek.
Akibat dari kekhawatiran tersebut, di beberapa daerah muncul aksi demonstrasi
penolakan dari pekerja terhadap wacana peleburan tersebut.
Alternatif lain yang
sesungguhnya bisa diambil adalah dengan tetap mempertahankan keempat BPJS,
tetapi kepesertaannya diperluas dan jenis programnya ditambah. Misalkan saja,
BPJS Askes yang menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan seumur hidup untuk seluruh
rakyat Indonesia (termasuk pekerja/buruh). Selanjtnya, BPJS Jamsostek yang
sekarang ini pesertanya hanya pekerja formal dan jenis programnya hanya empat
program yaitu Jaminan Kematian, Kecelakaan Kerja, Hari Tua, dan Kesehatan.
Maka, dengan RUU BPJS ini
diubah bahwa peserta BPJS Jamsostek adalah pekerja formal, pekerja
informal, dan TKI dengan jenis programnya menjadi lima program, yaitu Jaminan
Kematian, Kecelakaan Kerja, Hari Tua, Pensiun, dan Kesehatan (dimana khusus
Jaminan Kesehatan penyelenggaraanya dialihkan ke BPJS Askes). Atau, misalnya
lagi, selama ini PNS/TNI-Polri tidak mendapat Jaminan Kecelakaan Kerja dan
Jaminan Kematian maka dengan RUU BPJS ini PNS/TNI-Polri mendapatkan Jaminan
Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.
Disisi
lain PT Jamsostek menyatakan siap melaksanakan amanat UU Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) termasuk migrasi (memindahkan) program Jaminan Pelayanan
Kesehatan ke BPJS Kesehatan (PT Askes).
Sebelumnya,
Sidang Paripurna DPR mengesahkan UU BPJS yang mengatur BPJS Kesehatan sebagai
penyelenggara Jaminan Kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Program itu akan
dilaksanakan pada 2014.
Konsekwensi dari pembentukan BPJS Kesehatan itu maka peserta dan program JPK Jamsostek dimigrasikan (dipindahkan) ke BPJS tersebut.
Konsekwensi dari pembentukan BPJS Kesehatan itu maka peserta dan program JPK Jamsostek dimigrasikan (dipindahkan) ke BPJS tersebut.
Adanya amanat UU BPJS yang meskipun baru akan
dilaksanakan pada tahun 2014 telah mampu sedikit memberikan angin segar bagi
masyarakat indonesia, khususnya bagi ketenagakerjaan di indonesia. Hal ini
dikarenakan masyarakat indonesia lebih bisa terjamin masalah sosialnya.
Selanjutnya, amanat BPJS ini diharapkan bukan
hanya sekedar baik dalam hal teknisnya saja, melainan juga pada penerapannya
dilapangan. Seperti diketahui bahwa permasalahan yang dihadapi di Indonesia
yang paling menonjol adalah dalam setiap penerapan kebijakannya tidak
dapat berjalan dengan baik, bahkan bisa saja kebijakan tersebut justru
dimanfaatkan oleh oknum untuk memperoleh keuntngan pribadi. Serta, yang terjadi
saat ini bagi masyarakat yang mendapat ASKES tidaklah mendapat pelayanan yang
selayaknya, seperti mereka yang membayar secara tunai.
Akan tetapi, setidaknya kebijakan tentang penerapan UU BPJS tersebut secara
umum merupakan sebuah prestasi tersendiri bagi bangsa Indonesia terhadap upaya
peningkatan mutu kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya UU BPJS ini
maka masyarakat menjadi terjamin dalam kehidupan
sosialnya.
No comments:
Post a Comment